#navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Sabtu, 28 Juli 2012

Sipakah yang layak membayar fidyah?

Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
Fiqh, 17 Oktober 2004, 05:32:06
Fidyah
1. Bagi Siapa Fidyah itu ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya (yang ditinggalkan, red) seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) “Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa, hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin”. (QS Al Baqarah 184).
Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh (sudah dihapuskan hukumnya, red) berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radiyallahu ‘anhu, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari atas seorang miskin. (HR Bukhari 8/135).

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu dianggap menyelisihi jumhur shahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan) : “Diberi rukhsah (keringanan, red) bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa, hendaknya memberi makan seorang yang miskin dan tidak ada qadha’, kemudian dimansukh oleh ayat (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan –ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al Baqarah 185).

Telah sahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Daud (2318) sanadnya shahih).
Sebagian orang ada yang melihat zhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh (dalil yang menghapuskan, red), hingga mereka menyangka Hibrul Ummah (Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan!!!.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah 185) Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafush shalih Radiyallahu ‘anhu menggunakan kata ‘naskh’ untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak, zhahir dan selainnya, adapun mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya, sehingga mereka menamakan istitsna’ (pengecualian), syarat dan sifat sebagai ‘naskh’. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan zhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa Arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al Muwafaqat (3/118) karya Asy Syathibi).

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang Arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilah (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru, yang mengandung penghilangan hukum syar’i terdahulu dengan dalil syar’i mutakahirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat diatas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang biasa berpuasa, atau tidak biasa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Salamah bin al Akwa Radiyallahu ‘anhu : “Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, barangsiapa yang mau berpuasa, maka berpuasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan –ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al Baqarah 185).

Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhshah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itusendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja, kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan (ditolak, red) itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?

Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, hukum pertama mansukh dengan dalil al Qur’an adapun hukum kedua dengan dalil dari Sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari Kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : “Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui juka khawatir akan keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya.”

Dan yang menambah jelas lagi hadits Mu’adz bin Jabal Radiyallahu ‘anhu : “Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam saat datang ke Madinah, menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura’, sampai kemudian Allah mewajibkan puasa (Ramadhan) turunlah ayat : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS Al Baqarah 183).

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat : (yang artinya) “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur’an…” (QS Al Baqarah 185).
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim dan sehat, serta memberi keringanan (rukhshah) bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya…” (HR Abu Daud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.
Oleh karena itu Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu ‘anhu dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : “itu mansukh”, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman shahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/288).

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz hanya ijtihad ?
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim, apa yang telah tsabit (tetap penyebutannya) dari Ibnu Abbas dan Mu’adz hanyalah semata-mata pendapat, ijtihad dan pengkabaran, sehingga tidak bisa naik ke tingkatan hadits marfu’ yang bisa mengkhususkan perkara yang sifatnya umum dalam al Qur’an, membatasi yang mutlak dan menafsirkan yang global, maka jawabannya adalah sebagai berikut :

a. Dua hadist ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan RasulNya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya al Qur’an, mengabarkan ayat Al Qur’an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits yang musnad. (Lihat Tadribur Rawi (1/192-193) karya Imam Suyuthi, ‘Ulumul Hadits (24) karya Ibnu Shalah).

b. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, darimana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari Sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh (sudah dibatalkan, red).

Dari Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatrkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (Al Baihaqi dalam as Sunan (4/230) dari jalan Imam Syafi’I, sanadnya shahih).

Daruquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, beliau (Ibnu Umar) berkata : “Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha’.” Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha’, sanadnya jayyid”. Dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa 
Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu. (Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/21)).

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna : “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui”, yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi “kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya”, dia bayar fidyah tidak mengqadha’.”

7. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib mengqadha’
Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha’, perkataan ini tertolak karena al Qur’an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir : (yang artinya) “Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah 184).

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firmanNya : (yang artinya) “Dan wajib orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) : memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat itu, bahwa ayat ini adalah khusus untuk mereka.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab “Fidyah”. Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
S
ilahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=756

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SALAM SILATURRAHIM, SELAMAT BERKUNJUNG DI BLOG SAYA, SEMOGA KITA MENJADI INSAN BIJAK DENGAN BERBAGI ILMU PENGETAHUAN