Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif
Fiqh, 06 Oktober 2003, 00:20:18
A. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri
Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara :
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)
“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits semisal itu diantaranya
dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah
dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan
riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke
109.
Isi dan makna hadits-hadits diatas
menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan
tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang
berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah
orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan
Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah
dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata :
“Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
“Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
B. Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan
jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah
dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada
semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung
tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas
dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang
berbunyi :
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan
hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan
ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata :
“Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa…
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa…
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain…” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain…” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus
sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan
salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap
negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr
dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits
Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa
beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau
berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri
tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan
mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak
adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan
saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh
negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena
melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa
saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu
berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna
dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara
kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah
bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)
Imam As-Syaukani membantah
pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan
dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak
digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan
pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi
dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’
seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah
(dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal….
Apabila seseorang menyaksikan pada malam
ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib
puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang
maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja
baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila
penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus
mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang
jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena
hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut
berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat
hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya …”
(Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung
pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan
penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “… Saya –demi Allah-
tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih
pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits
yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia
sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan
ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25,
As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah
An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat
ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena
beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan
yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju
bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai
berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat
hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas)
meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari
atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian
dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap
pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah
hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104
…(Tamamul Minnah, hal. 397)
C. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?
Sekarang timbul permasalahan yaitu
seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus
beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam
At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi
(ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama
mayoritas manusia.”
Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits
itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang
mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk
mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam
shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa
di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan
bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab,
boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang
tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu)
bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak
menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana
manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan
hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu
Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan
untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya
tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang
melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya
tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian
itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna
inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan
hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena
khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan
kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk
mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia
menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.”
(Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal
disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat
hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika
disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil,
bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena
politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka
bagaimana hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal
ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak
berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja
dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas.
Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal
manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam :
Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala
bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa
atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka
bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.”
(Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum
puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan
pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin
Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam
1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi
berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena
pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka
berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan :
“Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah
bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat
inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa
tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan.
Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan :
“Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad
juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah
mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah
tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan
bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh
dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam
Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan
wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas)
dinisbatkan kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali
dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan
dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata
bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah
hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu
ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama
dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa
malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena
terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya
puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa
hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak
terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau
selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna
hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat
itu).” (Subulus Salam 2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang
diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa
sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath
(berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang
biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari,
kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka
puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata :
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah
bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
(Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya
Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin Malik dari
pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara
datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka
(Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya.
(HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam
Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang
berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila
tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat
ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa
shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian
keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits
diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala
waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.”
(Subulus Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama tentang
masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari
kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini
bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala
sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis
Shawab.
Catatan :
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=265
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar