Fiqh, 08 November 2003, 04:01:10
1. Pensyari’atannya
Shalat tarawih disyari’atkan secara berjama’ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama’ah” [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Rabbnya
(dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at
ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama’ah disyari’atkan karena
kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga).
Sesungguhnya ‘illat itu berputar bersama ma’lulnya, adanya atau tidak
adanya.Shalat tarawih disyari’atkan secara berjama’ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama’ah” [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : “Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama’ah, maka Umar berkata : “Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam”.[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
2. Jumlah raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata : “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar” [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua puluh raka’at”.
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : “Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha’ 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[3]
Footnote:
[1] Dengan tanwin (‘abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa’ ibil … dan seterusnya
[3]Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah
a. Al-Kasyfus Sharih ‘an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta’liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar ‘Ammar
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=321
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=321
Tidak ada komentar:
Posting Komentar