Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc
Aqidah, 15 Oktober 2006, 15:41:24
Zakat Fitri, atau yang lazim disebut zakat
fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan
Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang
tersuguh untuk kaum muslimin. Namun tidak ada salahnya jika diulas
kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.
Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui
hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala mensyariatkan atas mereka untuk menunaikannya usai melakukan
kewajiban puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka
pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan
mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah
sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang
miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no.
1609 Ibnu Majah: 2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Mengapa disebut Zakat Fitrah?
Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah.
Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa,
diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia)
sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama
“wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)
Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam–
disebut زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah
fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa
Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa
bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani
menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada
sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat.
(Lihat Fathul Bari, 3/367)
Hukum Zakat Fitrah
Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan
Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul
Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar
jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para
ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ
وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ
بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma
atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki,
wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk
ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih,
HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no.
1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim)
Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:
أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)
Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi
menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah
wajib.
Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya
sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapula yang
berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu
diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah
karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar.
Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula
pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul
Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)
Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits
sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar
ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun
budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya
dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari
hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun
perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban
tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya,
maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat
jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336)
Nafi’ mengatakan:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ
“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia
dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari
Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375)
Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369)
Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat?
Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim)
berkewajiban mengeluarkan zakatnya? Jawabnya: tidak. Karena Nabi
memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi
kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada
pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat
tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.
Apakah Janin Wajib Dizakati?
Jawabnya: tidak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat tersebut kepada (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut (anak
kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir
menukilkan ijma’ tentang tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin.
Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu
sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan
catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari
Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah,
karena tidak sesuai dengan hadits di atas.
Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia
mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka
kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya
(yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.”
(Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani
menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan
pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban
membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu,
ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat
fitrah).” (Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553, lihat pula
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)
Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا
نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ …
“Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat
fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’
gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari
Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan
makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280)
Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu
negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung
pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:
قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ
وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di
zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’.
Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum,
kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat
Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510)
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir
dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan
pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di
antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat
dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir
(Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib
li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
(9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)
Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk
makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu
pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68)
Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah
pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah
menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh
menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka
yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk
menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika
menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.
An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak
boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah
saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab:
‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”
Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai
dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya
antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295,
Al-Majmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Pendapat pertama itulah yang kuat.
Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi
uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya
sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras
–misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk
beras, bukan uang.
Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang
dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian
itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi
orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu
mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan
maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika
ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah.
Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad
telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam
masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat
yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan
uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis
yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang
merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau
untuk keadilan maka tidak mengapa….”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat
diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh
sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah
ini.
Ukuran yang Dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1
sha’ itu?
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak
bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para
ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh
Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3
kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)
Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah
Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis
hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1
sha’, sementara yang lain berpendapat ½ sha’.
Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat:
عَنْ هِشَامِ بنِ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَسْمَاءَ بنِتَ
أَبِى بَكْرٍ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ
مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ
بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِي يَـتَبَايَعوْنَ بِهِ
“Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu
di zaman Nabi dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka
atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud
atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi
dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh
Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan
Muslim.” Lihat Tamamul Minnah hal. 387)
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan di masa sekarang Al-Albani.
Waktu Mengeluarkannya
Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan
selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat
sebagaimana dalam hadits yang lalu.
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak
sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud,
yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu.
Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam
penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat
dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ
يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ
“Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya
[1]. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375)
Dalam riwayat Malik dari Nafi’:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى
الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas
yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.”
(Al-Muwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285.
Lihat pula Al-Irwa` no. 846)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada
juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar,
karena demikianlah praktek para shahabat.
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?
Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ
صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ia mengatakan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci
bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor
serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka
barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Ied) maka itu zakat yang
diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu
hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR. Abu
Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah, 2/395
Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua [2] hadits tersebut
adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan
bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah
pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak
ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk
berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu
Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad,
2/21)
Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan
fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si
fakir mewakilkan kepada yang
lain untuk menerimanya.
Sasaran Zakat Fitrah
Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama
mengatakan sasaran
penyalurannya adalah orang fakir miskin secara
khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat
yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah
60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan
yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari
perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian
makanan bagi orang-orang miskin.”
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar [3] dan di zaman ini Asy
Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan
lain-lain.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Diantara petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak
membagikannya kepada 8 golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula
memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat
yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.”
(Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah,
hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936)
Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk
pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh
Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).
Definisi Fakir
Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering
bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya
pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan
membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara
ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama
berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9
pendapat.
Diantaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah
pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil
dari Imdadul Qari, 1/236-237)
Diantara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dahulu
menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”
Tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga
dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي
الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ
يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka
ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal.
Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya
(341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit
kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang
mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”
Berapakah yang Diberikan kepada Mereka?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka
mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan
mereka.”
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah
adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk
membayarkan zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau
semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin
dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
khalifahnya, serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun
melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim
membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu orang
muslim.
Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas
jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari
itu dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau
dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin.
Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka
tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam,
maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.”
(Majmu’ Fatawa, 25/73-74)
Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat?
Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang
sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia
yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan,
menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab: “Organisasi tersebut wajib untuk
menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum
diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu.
Karena
Nabi memerintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum
Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki
(pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk
menerima zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk
menyalurkannya kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak
boleh pula membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena dalil-dalil
syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk
makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat
seseorang manusia.
Apabila muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang
untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib
dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk
mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379,
ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan
Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)
Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)
Bila ia memberikannya kepada badan amil zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:
1. Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
2. Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i.
Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu
hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang
mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran.
Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan
organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti
menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun
terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’
yang dibuat-buat.
Bolehkah Zakat (Secara Umum) Dikembangkan oleh Badan Amil Zakat?
Pertanyaan tentang ini telah diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah, jawabnya:
Tidak boleh bagi wakil dari organisasi tersebut untuk mengembangkan
harta zakat. Yang wajib dilakukan adalah menyalurkannya ke tempat-tempat
yang syar’i yang telah disebut dalam nash (Al-Qur’an atau Hadits,
-pent.) setelah mengecek (tempat) penyalurannya kepada orang-orang yang
berhak. Karena tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan orang-orang fakir
dan melunasi hutang orang-orang yang berhutang. Sementara pengembangan
harta zakat bisa jadi justru menyebabkan hilangnya maslahat ini, atau
menundanya dalam waktu yang lama dari orang-orang yang berhak (sangat
membutuhkannya segera, ed.) (Fatawa Al-Lajnah, 9/454 ditandatangani oleh
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah
Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud)
Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah
Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah:
“Apakah saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya di mana saya
puasa Ramadhan di (Saudi Arabia) bagian timur sementara keluarga saya di
(Saudi Arabia) bagian utara?”
Jawab: Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun
jika wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang
bersangkutan tidak ada di sana, maka diperbolehkan. (Fatawa Al-Lajnah,
9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq
Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote
1. Yang dimaksud adalah amil zakat, bukan fakir miskin. Lihat Fathul Bari (3/376) dan Al-Irwa` (3/335).
2. Sebelumnya beliau juga menyebutkan hadits lain yang semakna.
3. Lain halnya dalam bukunya Ad-Darari, di situ beliau berpendapat seperti Asy-Syafi’i.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan
Al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Zakat Fitrah Pensuci Jiwa. Url
sumber
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=372)
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1107